Cari Blog Ini

Rabu, 16 Januari 2013

KISAH HARI IBU


Aku terduduk lemas diruang tunggu
Rumah Sakit, saat mendengar kabar
kalau Ibuku dimasukkan ke ruang UGD.
Berjuta perasaan buruk seolah merasuki
hati dan fikiranku ketika seorang suster
menutup pintu ruangan tersebut.
Didalam penantianku, hanya
permohonan dan doa yang bisa
kupanjatkan kepada Allah SWT untuk
kesembuhan dirinya.
“Ya Allah sembuhkanlah dia, angkatlah
semua penyakitnya Ya Allah…” Begitulah
kiranya doa yang kupanjatkan untukNya.
15 menit telah berlalu, dan kejauhan
tampak seorang Dokter yang berjalan
menghampiriku.
“Apa anda keluarganya?” Kata Dokter
tersebut.
“Ya benar, saya anaknya. Bagaimana
keadaan ibu saya, Dok?” Ujarku penuh
Tanya.
“Alhamdulillah, kami tim medis berhasil
menyelamatkan nyawa Ibu anda. Saat ini
kondisinya telah berangsur-angsur
membaik dan hanya perlu banyak
istirahat.” Katanya memberi penjelasan.
“Terima kasih Dokter. Lalu, apa saya
sudah boleh menjenguknya?” Kataku lagi.
“Oh tentu, silakan.” Jawabnya.
Seketika kutepis jauh-jauh semua fikiran
buruk tentang kondisi ibu. Air mata
kesedihan kini tampak mengering,
berganti dengan air mata kebahagiaan.
“Terima kasih Ya Allah, engkau masih
memberikanku kesempatan
untuk berada disampingnya.” Aku
berucap lirih.
Setibaku diruang 601, tempat dimana
Ibuku dirawat, aku langsung duduk
ditepi kasur, tempat ibu berbaring. Aku
membelai rambutnya dengan penuh
kasih dan sayang, dan berharap
kesembuhan untuknya. Tak lupa kutatap
wajahnya, wajah yang nampak tenang
dan berseri seri, seolah menghapus
semua penderitaan dan kesedihannya
selama mi, terutama setelah kepergian
Ayahku menghadap Sang Pencipta. Aku
terpaku. Saat itu juga, dan tanpa
disengaja aku meneteskan air mata
kesedihan. Air mata yang mengingatkan
aku akan kesalahan-kesalahan yang telah
ku perbuat selama ini.
Sejenak aku terdiam. Dalam lamunanku
itu, aku kembali teringat saat-saat
dimana Ibuku masih sehat dan segar,
saat masih bisa menemaniku,
memanjakanku dan
mengajarkanku arti kehidupan.
Bagiku, ia sangat menyenangkan. Sosok
seorang ibu sekaligus
teman, yang mungkin tidak semua anak
dapat merasakannya,
Sungguh, betapa beruntungnya aku. Lalu
fikiranku kembali ke
empat tahun silam, ketika
umurku menginjak 17 tahun dan
menjadi seorang pelajar SMA
terkenal di Jakarta. Pada saat itu, aku
tumbuh menjadi seorang
remaja yang nakal. Berbagai kenakalan
seperti merokok,
berbohong, dan sering pulang hingga
larut malam, telah menjadi teman baik
untukku.
Hal ini tentu
membuat kedua Orangtuaku sangat
khawatir. Mereka terus
menasehatiku dengan penuh kesabaran
dan perhatian.
Kekerasan dan ego tak pernah
mereka gunakan dalam mendidikku,
tetapi agama-lah
yang menjadi pedoman untuk terus
membimbingku kepada kebaikan dan
kebenaran.
Tak lama, hatiku pun luluh. Aku benar-
benar tak tega melihat kedua Orangtuaku
bekerja keras, banting tulang siang dan
malam, serta rela melakukan apa saja
demi aku, anaknya. Sejak saat itu aku
bertekad untuk merubah dan membawa
diri menuju arah yang lebih baik.
Ditengah perubahan itu, tiba-tiba aku
ditimpa musibah yang sangat
membuatku merasa sedih, Ayahku
terserang penyakit jantung kronis dan
meninggal empat hari kemudian.
Menurut Dokter, Ayah meninggal akibat
terlalu banyak beban yang harus
ditanggungnya, yang berpengaruh buruk
kepada kesehatan jantungnya. Aku yang
mendengar hal itu langsung menangis
sejadi jadinya dan berteriak sekencang
kencangnya untuk mengncapkan “maaf’
walaupun ku tahu itu semua telah
terlambat.
Kepergian Ayahku untuk selama-lamanya
membuat beban
Ibuku bertambah dua kali lipat. Tubuhnya
yang semula indah, khas seorang wanita,
kini telab berubah menjadi seorang
wanita yang iebih kurus dan terlihat
kurang menarik lagi. Kulitnya yang kusam
dan peluh keringat yang bercucuran
didahinya menggambarkan betapa
beratnya pekerjaan dan beban yang
harus Ibu pikul. Selama itu pula tak
pernah kudengar keluh kesah atau
penyesalan selama aku berada
disampingnya. Benar benar wanita yang
mulia.
Lama aku terdiam, tiba-tiba lamunanku
harus berakhir ketika seorang Dokter
masuk keruangan kami untuk memeriksa
keadaan Ibuku.
“Bagaiman keadaan ibu saya, Dok?”
Tanyaku.
“Oh… Kamu tenang saja, kondisi ibumu
sudah stabil.” Jawabnya singkat.
“Kalau begitu. apa saya sudah bisa
meninggalkannya untuk sementara?
Karena saya harus kuliah.” Tanyaku lagi.
“Baiklah kaiau begitu, anda sudah bisa
meninggalkannya sekarang. Biar Suster
yang menjaga Ibu anda.” Jawabnya
seraya meyakinkanku.
Setelah Dokter meninggalkan ruangan,
aku mencium kening Ibu dengan lembut.
Seraya kuucapkan sebuah kalimat penuh
harapan ke telinganya.
“Cepat sembuh ya, Bu…” Ucapku lirih
sambil kulangkahkan kakiku keluar
ruangan.
Keesokkan harinya, sesaat sebelum aku
berangkat ke Rumah Sakit, tak sengaja
aku melihat kalender disudut dinding
kamarku. Ternyata hari ini tanggal 21
Desember.
Astaghfirullah, aku hampir lupa, besok
kan Hari Ibu? Lain sesegera mungkin aku
pergi ke toko kue untuk membelikan ibu
sebuah kue tart kesukaannya, dan empat
buah lilin untuk mengucapkan
pengharapan.
Setelah selesai membeli kue, aku
melanjutkan perjalanan ke Rumah Sakit.
Selama perjalanan, aku tersenyum,
membayangkan bagaimana perasaan ibu
ketika kuhadiahi kue di Han penuh kasih
sayang untuk seorang ibu. Tak lupa
kuseilipkan sepotong doa agar Allah SWT
senantiasa menjaga dirinya.
Karena terjebak kemacetan lain lintas,
akhirnya aku samapi di Rumah Sakit PKL
22.30 WIB. Lalu aku masuk ke kamar ibu.
Karena lelah akibat perjalanan, aku
tertidur dengan kepala bersandar ditepi
ranjang dan tangan kanan
menggenggam tangan Ibu. Satu jam
kemudian aku terbangun dan sedikit
terkejut ketika jam didinding telah
menunjukkan PKL 22.30. itu artinya
setengah jam lagi tanggal dikalender
akan bergeser ke tanggal 22, Hari
istimewa untuk para ibu didunia. Segera
kukeluarkan kue tart yang telah kubeli
tadi siang beserta empat lilin
pengharapan. Menit terus berganti dan
tak terasa 10 menit lagi waktu akan
menuju PKL 00
Aku mulai menancapkan satu persatu lilin
pengharapan keatas kue tart itu. Saat
akan membakar sumbu lilin, aku
menggenggam erat tangan ibu.
Tangannya terasa hangat, sehangat
perhatiannya kepadaku selama ini. Dan
dengan segera ku bakar lilin-lilin itu.
“ibu, lihatlah empat lilin ini. Aku berharap
kesembuhan untuk penyakitmu dililin
yang pertama in Pada lilin yang kedua,
aku ingin ibu tahu, kalau aku selalu
sayang sama ibu. Lalu dililin yang ketiga,
aku ingin suatu saat nanti, ibu melihatku
telah menjadi seorang yang yang berhasil
dan sukses. Dan dililin terakhir, aku ingin
membahagiakanmu dengan segala
kemampuanku…’ Ucapku sedikit terharu.
Aku tak mampu menahan kesedihanku.
ibu menangis. Tangisan yang seolah-olah
membuat seisi ruangan tampak ikut
bersedih. PKL 00.05, suasana sangat
hening. Aku hanya bisa menatap dengan
tatapan kosong saat wajah ibu berubah
menjadi sedikit pucat. Entah apa yang
sedang kupikirkan, tiba-tiba aku tak
sengaja menyanyikannya sebuah iagu.
“Kasih Ibu, Kepada beta, tak terhingga
sepanjang masa…
Hanya memberi, tak harap kembali…
Bagai sang surya, menyinari dunia…”
Hanya ini yang mampu kupersembahakn
untuk ibu. Kemudian aku kembaii
menyanyikan lagu ini untuk kedua
kalinya. Dengan sangat tenang
kuletakkan tangan kananku pada
tangannya dan tangan kiriku dikening
dan rambutnya. aku tak mampu untuk
melanjutkan nyanyianku itu hingga akhir,
hanya air mata yang sanggup
menggantikanku.
Tepat PKL 00.15 ibuku menggenggam
tanganku kuat-kuat, dan menanik nafas
dalam-dalam sebanyak tiga kali. aku baru
sadar kalau itu adalah suatu pertanda ia
akan meninggalkanku untuk selama
lamanya. Tiba-tiba garis-garis dilayar
berubah menjadi lurus. Tak mampu
kuelakkan lagi, air mataku meluncur
deras dan tak mampu kubendung lagi.
Tangisku pecah saat kupandang wajah
ibuku yang sudah tenang
meninggalkanku menghadap
penciptaNya.
“ibu… Jangan tinggalkan aku….” Ujarku
lemas.
“Selamat Ha.. .ri… ibu… , maafkan aku
yang tak sempat membahagiakanmu….”
Kataku penuh penyesalan.
ibu meninggalkanku pada tanggai 22
Desember, tepat dimana seorang anak
yang dilahirkan dari rahimnya
membenihkan sebuah perhatian dan
kasih sayang serta belajar untuk
memaknai anti penting kehadiran
seonang ibu dihidupnya. Dan ibu juga
meninggalkan empat lilin pengharapan
yang belum sempat ditiupnya……
Wassalam:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar